Dalam kehidupan rumah tangga, pasangan suami istri pasti dihadapkan oleh sebuah masalah, mulai dari masalah yang sepele hingga masalah yang besar dan prinsipil. Salah satu isu sentral dalam problematika rumah tangga suami istri adalah isu kekerasan, atau yang sering disebut denga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kekerasan dalam rumah tangga, meski bukan permasalan yang baru lagi bagi masyarakat, namun fenomena kasusnya sendiri masih seperti gunung es. Kasus yang dimunculkan di media, baik cetak maupun elektronik hanyalah sekian persen dari banyaknya kasus yang teradi di masyarakat. Sebuah situs internet yang mengkaji mengenai KDRT, menjabarkan bahwa angka kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia sepanjang tahun mengalami peningkatan. Tercatat sepanjang 2004-2021 KOMNAS Perempuan mencatat 544.452 kasus tentang KDRT.
Dalam sebuah Jurnal Harakat yang berjudul “Larangan Islam Atas Perkosaan Dalam Perkawinan” menyatakan bahwa agama membawa keadilan tanpa membedakan antara perempuan dan laki-laki. Sekaligus menjawab masalah bahwa semua agama punya tren yang sama mengenai kekerasan terhadap perempuan. Bahwa kekerasan atas nama agama, terjadi di semua agama. modelnya sama dan menggunakan ayat suci. Agama seperti disorientasi dalam konteks kekerasan terhadap perempuan. Bentuk penerapan syari’at dan tradisi berbalut agama bertentangan dengan misi keadilan dari setiap agama.
Sebagai contoh kesalahpahaman memahami kandungan QS. An-Nisa’ ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا – ٣٤
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Prof Quraisy Syihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa kalau titik temu tidak diperoleh dalam musyawarah, dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi istri dengan nusyus, keangkuhan, dan pembangkangan, maka ada tiga langkah yang dianjurkan untuk ditempuh suami untuk mempertahankan mahligai perkawinan.
Ketiga langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. ketiganya dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan huruf wawu (و) yang biasa diterjemahkan dengan arti dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan kebahasaan, dapat saja yang kedua didahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa, itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh.
Sedangkan Imam ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibu Katsir menafsirkan yakni jika wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri istri, hendak suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka, karena suami mempunyai keutamaan dan tanggung jawab terhadap dirinya.
Kemudian kita menemukan dalam ayat tersebut terdapat kalaimat (واضربوهنّ) dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan yakni, apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai.
Dalam madzhab Hanafi dijelaskan dalam kitab Tayri’ Al-jinan Fi At-Tasyri’ Al-Islam karya Abdul Qodir ‘Audah di halaman 413-418 mengatakan bahwa, pemukulan hanya diperbolehkan jika seorang suami sudah melakukan tahapan-tahapan, seperti memberi nasihat dan berpisah ranjang. Dia tidak di perkenankan menggunakan media pemukulan, langsung tanpa diawali dengan nasihat yang baik. jika suami melakukannya, maka ia telah melampaui batas, berdosa dan bisa diminta pertanggung jawaban atau diajukan dipengadilan. Karena pemukulan seperti ini kebanyakan adalah pemukulan yang mencederai.
Bahkan sebelumnya, dalam kitab Ahkam Al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi menerangkan bahwa Imam ‘Atha salah seorang ulama’ pada masa tabi’in berpandangan bahwa memukul istri itu hukumnya makruh dan tidak patut untuk dijadikan media pendidikan, apapun alasannya yang ada dibenak suami. Pandangan ini berdasarkan pada teks-teks hadis yang secara eksplisit melarang seseorang memukul istri.
Oleh karenanya agama dan budaya jangan lagi memperkuat kekerasan terhadap perempuan semakin langgeng. Padahal banyak perspektif keagamaan (agama manapun) yang lebih adil terhadap perempuan.hanya saja pendangan ini belum meluas. Akses pengetahuan perlu lebih dibuka mengenai perspektif agama yang lebih adil untuk melawan kekerasan. Yang terpenting mengubah cara berpikir, memperbanyak komunikasi dan meninggalkan ego pribadi untuk sebuah keharmonisan dan kenyamanan.