Meyakini keesan Allah swt, kemahakuasaan-Nya serta berserah diri kepada-Nya adalah bagian dari esensi ajaran Islam. Akan tetapi, perlu anda ketahui bahwa berdoa juga merupakan tuntunan agama. Doa secara bahasa berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua akar kata. Pertama berasal dari da’a-yad’u-da’watan berarti menyeru. Kedua, berasal dari da’a-yad’u-da’wa berarti memanggil atau mendoa. Sedangkan doa secara istilah dalam pandangan Qadhi Iyadh adalah ibadah yang hakiki karena menunjukkan kepasrahan diri kepada Allah swt dan berpaling dari selain-Nya.
Secara keseluruhan, kata doa dalam Al-Qur’an beserta derivasinya terulang sebanyak 213 kali dalam 55 surat. Hal tersebut menandakan bahwa kata doa merupakan kata yang populer dan sering digunakan dalam kehidupan bermasyarakat oleh bangsa Arab. Al-Qur’an secara tegas menyatakan:
قُلْ مَا يَعْبَؤُا بِكُمْ رَبِّيْ لَوْلَا دُعَاۤؤُكُمْۚ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُوْنُ لِزَامًا – ٧٧
Katakanlah (Muhammad, kepada orang-orang musyrik), “Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal sungguh, kamu telah mendustakan-Nya? Karena itu, kelak (azab) pasti menimpamu.(QS. Al-Furqon: 77).
Ayat ini memang ditujukan kepada kaum musyrik, akan tetapi berdasarkan kajian dalam kitab tafsir Taisirul karimirrahman fi Tafsiri kalamil Mannan, as-Sa’adi memaknai kata دُعَاۤؤُكُمْۚ yaitu jika bukan karena doa ibadah dan doa permohonan, tentu Allah tidak menghiraukan manusia. Maka sekurang-kurangnya jiwa muslim bisa memaknainya bahwa doa sesuatu yang urgent. Begitu juga Nabi saw, menyatakan bahwa doa adalah otak ibadah; “ad-du’a mukhkh al-‘ibadah” (HR. At-Tirmidzi dari sahabat Nabi, Anas bin Malik). Bahkan, secara tegas dan jelas Al-Qur’an menyamakan doa dengan ibadah. Perhatikan firman Allah swt:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ – ٦٠
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.”(QS. Az-Zukhruf: 60).
Ibnu Katsir berpandangan dalam kitab tafsirnya Al-Qur’an al-‘adzim bahwa doa pada ayat tersebut adalah permohonan. Dimana seseorang dapat memohon atas sesuatu hal yang diinginkannya kepada dzat yang dituju agar mengabulkan permohonannya. Disebutkan bahwa, dalam literatur agama ditemukan ada sekian banyak anjuran untuk berdoa, bukan hanya dalam soal-soal yang pelik dan besar, melainkan juga dalam hal-hal yang kecil dan remeh. Dalam buku majma’ az-zawa’id, pada hadits ke-9.255, ditemukan riwayat yang juga bersumber dari Anas bin Malik dan bersambung kepada Nabi saw. Bahwa beliau bersabda, “hendaklah salah seorang di antara kamu memohon kepada tuhannya atas seluruh kebutuhannya, walaupun yang berkaitan dengan sandalnya bila putus atau rusak.” Dalam hadits ke-9.256 dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “barang siapa tidak memohon kepada Allah, maka dia murka kepadanya.”
Walaupun sanadnya lemah, makna kedua hadits di atas dapat diterima. Selanjutnya , sahabat Nabi yang lain menyampaikan pesan beliau, “bermohonlah anugerah Allah, karena Allah senang menerima permohonan. Ibadah yang palin utama (afdhal) adalah menantikan datangnya kemudahan (penantian yang diliputi optimisme dan prasangka baik kepada Allah)” (HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud).
Memang benar, Allah swt, mengetahui segala sesuatu, termasuk kebutuhan kita. Ini bukan alas an bagi kita untuk tidak berdoa. Rosulullah mengajarkan doa yang antara lain berbunyi demikian:
اَللَّهُمَّ اِنَّكَ تَعْلَمُ حَجَتِيْ فَعْطِنِيْ سُئَالِيْ وَتَعْلَمُ مَافِيْ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ
“Ya Allah engkau mengetahui keperluanku. Maka, anugerahkanlah kepadaku permintaanku. Engkau juga mengetahui isi hatiku. Maka, ampunilah dosaku.”
Karena itu, janganlah malu atau ragu dalam berdoa! tahukah anda bahwa “Allah malu untuk tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya yag mengangkat kedua tangannya dengan tulus?” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi, Salman Al-Farisi), dan dalam saat yang sama, dia bermaksud membuktikan secara faktual melalui permohonan hamba-hamba-Nya bahwa memang mereka sangat membutuhkan-Nya. Wallahu a’lam
Sae mas
Matursuwun ustadz, mohon untuk bimbingan jenengan dari tulisan2 kami Ustadz